Oleh : Prof. Dr. Ir. Agus Purnomo, M.T., FCILT.
(Professor of Supply Chain Management – Master of Logistics Management Department – Universitas Logistik Dan Bisnis Intenasional – ULBI)
Bayang-Bayang Inefisiensi Logistik
Bayangkan sebuah negara dengan ribuan pulau yang seharusnya menjadi kekuatan logistik dan konektivitas terbesar di dunia, tapi barang dari Surabaya ke Kupang masih bisa lebih lama sampai daripada paket dari Shanghai ke Jakarta. Ironi ini bukan fiksi—ini potret nyata betapa besarnya potensi yang belum diorkestrasi.
Indonesia memiliki lebih dari 17 ribu pulau, ratusan pelabuhan dan bandara aktif, namun biaya logistik nasional masih menembus 14,29 persen dari PDB (Bappenas, 2024) — jauh di atas rata-rata ASEAN yang hanya 10–12 persen. UNESCAP (2023) memperkirakan, ketidakefisienan koordinasi antar moda dan lembaga logistik menimbulkan kerugian ekonomi sekitar Rp 600 triliun per tahun. Masalahnya bukan kurangnya kapal, truk, atau pesawat, tapi absennya satu “otak” yang menyatukan semua sistem logistik nasional agar bergerak dalam satu ritme.
Di titik inilah kepemimpinan menjadi ujian sejati—bukan sekadar jabatan administratif, melainkan kemampuan menyatukan sistem yang selama ini bekerja secara terfragmentasi. Simon Sinek pernah berkata, “Leadership is not about being in charge. It is about taking responsibility for everyone in your system.” Pertanyaannya, siapa yang berani memikul tanggung jawab sebesar itu? Saat Pelindo kuat di laut, KAI Logistik solid di darat, dan Angkasa Pura Logistik menguasai udara—hanya PT Pos Indonesia yang menembus seluruh wilayah, dari metropolitan hingga pelosok. Tapi kepemimpinan sejati bukan tentang siapa yang terbesar, melainkan siapa yang mampu menghubungkan, menyinergikan, dan menggerakkan semua pihak secara serempak.
Jaringan yang Menyatu dari Kota ke Desa
Sulit menampik peran PT Pos Indonesia dalam kajian National Logistics Orchestrator. Dengan 4.800 kantor layanan dan 41 ribu titik jaringan, Pos menjangkau hampir seluruh kecamatan di Indonesia. World Bank Postal Development Index (2023) menempatkan Indonesia di peringkat 34 dari 168 negara, naik signifikan dalam aspek connectivity dan reliability. Bappenas (2024) juga mencatat, 92 persen desa masih bergantung pada jaringan Pos untuk distribusi barang, dokumen, dan layanan finansial dasar.
Namun keunggulan jaringan fisik tidak lagi cukup. Dunia logistik kini bergerak menuju ekosistem digital yang menuntut kecepatan, visibilitas data, dan interoperabilitas sistem. Di sinilah Pos mencoba bertransformasi. Melalui kolaborasi dengan Danantara Asset Management (Persero), Pos mengembangkan GLID — Global Logistics Indonesia Digital, platform data terpadu yang dirancang menjadi tulang punggung (data spine) sistem logistik nasional. GLID berfungsi menghubungkan seluruh moda transportasi—laut, darat, udara—dalam satu dashboard digital yang transparan dan real-time. Jika GLID dijalankan konsisten lintas entitas, ASEAN Logistics Report (2023) memperkirakan efisiensi biaya logistik nasional bisa meningkat hingga 20 persen.
Dari Birokratis ke Gesit Digital — Tapi Masih Tertatih
Transformasi PT Pos Indonesia dalam beberapa tahun terakhir memang patut diapresiasi. Restrukturisasi besar-besaran sejak 2021 berhasil memangkas biaya operasional hingga 12 persen dan mempercepat waktu pengiriman rata-rata 25 persen dibanding 2019 (Kementerian BUMN, 2023). Aplikasi PosAja! kini diunduh lebih dari 10 juta kali, sementara PosPay mencatat lonjakan transaksi digital 43 persen pada 2024 (Bappenas).
Namun transformasi ini belum sepenuhnya mengubah persepsi pasar. Di segmen konsumen muda yang paling digital-savvy, survei Populix yang dirangkum FORTUNE Indonesia (8 Agustus 2023) menunjukkan bahwa hanya 3–7% Gen Z dan milenial memilih Pos Indonesia sebagai jasa kurir, jauh tertinggal dari pemain seperti J&T dan JNE. Tren ini dipertegas oleh Top Brand Index 2024, di mana Pos hanya meraih 9,4%, sementara J&T mencapai 50,9%. Pos memang telah berubah, tetapi perubahan tersebut belum cukup cepat untuk mengimbangi agresivitas dan inovasi pemain swasta yang lebih fleksibel dan responsif.
Untuk menjadi National Logistics Orchestrator, Pos tidak cukup hanya mengandalkan reputasi historis dan jaringan besar. Ia harus keluar dari pola lama BUMN yang eksklusif dan membangun ekosistem terbuka berbasis kolaborasi. Model bisnis masa depan logistik adalah “collaborative logistics” — di mana data, aset, dan tarif dikelola secara terintegrasi antar entitas publik dan swasta. Integrasi ini bukan sekadar teknis, tapi juga budaya: berbagi informasi, berbagi tanggung jawab, dan berbagi manfaat.
Kapal Besar Butuh Nakhoda
Konsolidasi BUMN logistik tanpa kepemimpinan yang jelas ibarat kapal besar tanpa nakhoda—penuh potensi, tapi kehilangan arah. Di tengah ego sektoral antarperusahaan pelat merah, Indonesia membutuhkan satu entitas yang tidak hanya kuat secara jaringan, tapi juga mampu membangun kepercayaan dan koordinasi lintas lembaga. PT Pos Indonesia punya peluang untuk memainkan peran itu, dengan jaringan sosial yang luas, infrastruktur besar, serta fondasi digital yang mulai matang. Namun peluang ini akan hilang jika tidak disertai keberanian untuk berubah lebih cepat, keterbukaan terhadap kolaborasi, dan komitmen terhadap transparansi data.
Ke depan, transformasi Pos harus menembus tiga lapisan perubahan: memperkuat GLID sebagai pusat data logistik nasional, mengintegrasikan rantai pasok first, mid dan last mile yang masih menyerap 60 persen biaya logistik nasional, dan membangun unit inovasi cepat yang mengadopsi AI, IoT, dan predictive analytics untuk perencanaan dan distribusi.
Penutup: Dari Arah ke Aksi
Jika Danantara adalah otak yang merancang strategi besar logistik nasional, maka PT Pos Indonesia adalah tangan yang harus menjangkau seluruh nadi ekonomi bangsa—dari pelabuhan besar hingga warung kecil di ujung desa. Kini saatnya menempatkan Pos bukan sekadar sebagai kurir negara, tapi simbol kebangkitan logistik publik Indonesia yang inklusif, efisien, dan berdaulat.
Seperti diingatkan World Economic Forum (2025), “The next frontier of competitiveness is not production — it’s coordination.” Koordinasi inilah yang menjadi pekerjaan rumah terbesar. Konsolidasi BUMN logistik hanya akan bermakna jika seluruh entitas bekerja dalam satu irama, bukan sekadar berbagi panggung. Karena daya saing bangsa di masa depan tidak ditentukan oleh siapa yang punya lebih banyak sumber daya, tetapi oleh siapa yang paling mampu menggerakkan semuanya bersama-sama.
Teaser:
Fragmentasi bikin mahal, koordinasi bikin maju. Indonesia butuh dirigen, bukan pemain solo, agar logistiknya bernada efisiensi. 🎻🚛📦
“LET’S JOIN ULBI”
Magister Manajemen Logistik – “Shaping Future Leaders in Global Logistics”
Learn more by visiting :
https://admission.ulbi.ac.id/s2-magister-manajemen-logistik/
#AGUS PURNOMO; #Danantara; #Logistik Indonesia; #PT Pos Indonesia; #GLID (Global Logistics Indonesia Digital); #Efisiensi Rantai Pasok Nasional; #Logistik; #Logistics; #Supply Chain Management; #Supply Chain; #Green Logistics; #AI; #Big Data; #IoT; #Rantai Pasok; #ULBIAcademia; #PenaAkademikULBI; #EdukasiULBI; #OpiniAkademik; #ArtikelAkademik; #SEO; #DigitalMarketing
Keywords:
Logistik Indonesia
PT Pos Indonesia
Danantara Asset Management
GLID (Global Logistics Indonesia Digital)
Efisiensi Rantai Pasok Nasional







Komentar