KABARHARMONI | BANDUNG, – Wali Kota Bandung Muhammad Farhan mengajak masyarakat untuk memahami kembali esensi Pancasila sebagai dasar negara yang lahir dari spiritualisme dan nilai moral luhur.
Menurutnya, Pancasila bukan sekadar norma hukum, melainkan ruh yang harus mewarnai setiap langkah kepemimpinan dan kehidupan berbangsa.
Farhan menyampaikan hal itu dalam dialog Peringatan Hari Lahir Pancasila bersama Majelis Luhur Kepercayaan Kota Bandung di Pendopo Kota Bandung pada Sabtu, 31 Mei 2025.
Kekuasaan Tanpa Landasan Spiritual Membunuh Jiwa Bangsa
Farhan mengungkapkan pengalaman kontemplatif dan refleksi pribadinya terkait makna spiritual dalam kepemimpinan.
Menurutnya, seorang pemimpin tidak boleh hanya bergantung pada hukum positif dan aturan administratif tanpa jiwa dan moralitas.
“Kalau hanya mengandalkan hukum positif tanpa memperhatikan nilai spiritual, saya bisa saja menjadi seperti para penguasa otoriter yang mengkultuskan diri mereka sendiri, seperti Kim Il-Sung, Kim Jong-Il, dan Kim Jong-Un di Korea Utara,” ujar Farhan.
Baginya, kekuasaan tanpa landasan spiritual akan membunuh jiwa sebuah bangsa dan menjauhkan nilai-nilai kemanusiaan.
Baca Juga: Presiden Prancis Kagumi Candi Borobudur sebagai Karya Arsitektur Spiritual yang Luar Biasa
Menggali Kembali Akar Spiritualisme Pancasila
Oleh karena itu, ia mengajak seluruh elemen masyarakat dan aparat pemerintahan untuk menggali kembali akar spiritualisme Pancasila yang dilahirkan oleh Bung Karno.
Farhan menceritakan kisah spiritual Bung Karno yang diyakini menemukan lima sila Pancasila saat melakukan kontemplasi di hutan Arjasari, Banjaran.
“Saya sendiri ingin mendorong perbaikan dan pelestarian tempat-tempat bersejarah ini, termasuk makam tokoh yang menginspirasi perjuangan sosial,” kata Farhan.
Baca Juga: Pembinaan Kerohanian, Membangun Integritas dan Landasan Spiritual ASN Pemkot Bandung
Keadilan Sosial sebagai Puncak Nilai-Nilai Pancasila
Farhan menggarisbawahi pentingnya keadilan sosial sebagai puncak dari nilai-nilai Pancasila.
Ia menekankan bahwa keadilan yang sebenarnya mencakup tidak hanya keadilan formal, tetapi juga keadilan substantif yang nyata bagi masyarakat.
“Keadilan itu adalah rarasaan, yang tidak bisa diukur dengan indeks semata. Kita sering melihat ketimpangan dalam penegakan hukum yang membuat rasa keadilan masyarakat terluka, seperti kasus korupsi yang hukumannya jauh lebih ringan dibandingkan pelaku kejahatan kecil,” katanya.
Konsep Keadilan sebagai Equilibrium
Ia juga memperkenalkan konsep keadilan sebagai equilibrium atau keseimbangan, bukan sekadar equal atau kesamaan rata.
“Equal berarti sama rata, tapi itu belum tentu adil. Equilibrium memberikan kesempatan yang sama sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing individu. Ini yang harus kita pahami sebagai spirit keadilan sosial,” jelas Farhan.
Baca Juga: Kota Bandung: Lahirnya Ideologi dan Perjuangan Bung Karno
Praktik Toleransi di Kota Bandung
Dalam konteks kebhinekaan, Farhan mengapresiasi praktik toleransi yang berjalan di Kota Bandung.
Pemerintah menjamin kebebasan beribadah dan juga memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat, bahkan dalam bentuk demo.
Pemerintah bertugas menjaga agar tidak terjadi gesekan fisik antar kelompok.
Ia mencontohkan penanganan konflik antara kelompok pendukung sepak bola Bobotoh dan Jakmania yang sejak 2018 relatif kondusif.
Baca Juga: Meningkatkan Toleransi Beragama di Kota Bandung untuk Kesejahteraan Bersama
Menghidupkan Nilai-Nilai Pancasila dalam Kehidupan Sehari-Hari
Selain itu, Farhan mengajak seluruh warga Bandung untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dengan semangat gotong royong dan persatuan.
“Kita tidak hanya menghafal Pancasila, tapi harus menghidupkan nilai-nilainya melalui tindakan nyata agar Bandung menjadi kota yang damai, harmonis, dan maju,” tuturnya. Red
Komentar